Harianmuria.com – Sengketa lahan di Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Jepara antara Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jepara dengan Agus HS (AHS) akhirnya mendapat jawaban dari Sri Wulan sebagai pemilik lahan sebelumnya.
Sri Wulan (76) warga Desa Tubanan, Kecamatan Kembang, Jepara membantah bahwa dirinya telah menjual tanah tersebut pada tahun 1986 kepada beberapa orang sebagaimana kabar yang menyebar di masyarakat.
Ia menuturkan bahwa tanah tersebut hanya digarap (disewakan) oleh almarhum Derjo Bajang yang waktu itu menjabat sebagai Perangkat Desa Tubanan (Bayan).
Polemik Sengketa Lahan Warga dan Pemkab Jepara, Sri Wulan Mengaku Tak Pernah Jual Tanah
“Mboten (Tidak menjual, Red.) nek digarap Bayan Bajang inggih, Pak (kalau digarap iya, Pak) tahun 1986,” akunya kepada Tim Koran Lingkar, Selasa (4/10).
Ia menjelaskan, saat itu seluruh tanahnya digarap (disewakan) oleh almarhum Bayan Bajang, bukan menjualnya. Ia mengaku tidak mengetahui bahwa ternyata tanah tersebut sudah dijual ke beberapa pihak oleh almarhum Bayan. Ia justru baru mengetahui tanah tersebut telah dijual sepulang dirinya berkunjung menengok teman dan saudara yang menjadi transmigran di Sumatera.
“Kulo ngertose nggih bar mantuk saking Sumatera niliki konco-konco sederek sing dadi transimigran (Saya tahunya ya setelah pulang dari Sumatera menengok teman dan saudara yang jadi transmigran),” terang Sri Wulan.
Ia mengatakan, dirinya tidak tahu pasti alasan almarhum Bayan menjual tanahnya. Sebab selama ini dirinya tidak merasa menjual tanah tersebut kepada almarhum Bayan atau pihak lainnya. Selain itu, ia juga tidak melakukan proses jual beli tanah melalui surat jual beli desa yang ditandatangani oleh almarhum Kuata, petinggi saat itu (1986) dan disaksikan oleh carik Kaswi.
“Mboten rumongso wong niku sewan (tidak merasa kan itu sewa). Duko kaleh Bayan niku kok malah didol kaleh wong kulo mboten ngerti, Pak. (Tidak tahu kenapa oleh Bayan kok malah dijual kepada orang lain, saya tidak mengerti, Pak),” sambungnya.
Terkait dugaan menyembunyikan sertifikat SMH nomor 454 juga dibantah olehnya bahwa itu tidak benar. Sri Wulan menerangkan bahwa SHM nomor 454 telah dibawa oleh almarhum Bayan dengan alasan khawatir sertifikat tersebut hilang.
Namun kenyataannya, setelah Bayan meninggal sertifikat tersebut malah dijadikan agunan di koperasi simpan pinjam yang berada di Desa Krasak, Kecamatan Bangsri, Jepara.
“Sertifikat itu yang membawa almarhum Bayan Bajang, kemudian setelah Bayan meninggal saya meminta sertifikat tersebut kepada anaknya, tapi tidak boleh. Kemudian sertifikat tersebut dijadikan jaminan oleh anaknya yang bernama Dodo,” jelasnya.
Berhubung sertifikat tersebut atas nama Sri Wulan, pihak koperasi tidak bisa memprosesnya jika tidak ada tanda tangan dari pemilik tanah sebelumnya. Kemudian istri Dodo (menantu Bayan Bajang) datang membujuk Sri Wulan dengan mengatakan hendak mengajukan pinjaman. Karena tak lebih dulu konfirmasi pada anak kandungnya, Sri Wulan pun memberikan tanda tangannya.
Merasa ditipu, pihak Sri Wulan lalu menelusuri dan langsung mengurus sertifikatnya ke koperasi yang bersangkutan. Sengketa antara koperasi dan Sri Wulan ini pun berlangsung dan kemudian diselesaikan pihak desa. Sri Wulan akhirnya mendapatkan kembali sertifikat tanahnya pada tahun 2015.
Di lain sisi, Agus HS selaku pemilik baru lahan mengatakan SHM nomor 454 tersebut diserahkan Petinggi Tubanan Untung Pramono (Petinggi saat ini) kepada Sri Wulan melalui surat tertanggal 9/2/2015. Ia mengira, petinggi mengetahui bahwa SHM tersebut memang ada sebelum Sertifikat Hak Pakai 14.
“Intinya mereka itu tahu bahwa tanah ini itu bersertipikat,” katanya.
Ia mengaku membeli lahan tersebut pada bulan Juli 2022 dan melalui proses jual beli yang sah. Dirinya pun mempertanyakan apakah mungkin transaksi jual beli dapat dilakukan hanya dengan leter C, padahal sertifikatnya sudah ada. Sementara didalam leter C tersebut (leter C yang digunakan sebagai dasar Hak Pakai 14 red) malah tidak ada tahun yang mana seharusnya ada.
“Ya 9 bidang itu tidak ada tahunnya, nah kalau tahunnya tidak ada terus ngisinya apa? Jadi itu seharusnya tidak bisa di proses apa tidak?” tanyanya.
Kemudian ia juga menyoroti pembebasan lahan oleh PT CJP di tahun 2011, yang mana tidak melalui panitia pengadaan tanah sebagaimana di atur dalam Peraturan Presiden. Hal ini juga perlu di telusuri apakah sudah melalui cara-cara yang sah dan benar atau tidak. (Lingkar Network | Muslichul Basid – Berita Koran Lingkar)