Tulisan ini adalah bagian dari pemikiran yang sering didiskusikan oleh penerjemah tersumpah yang tergabung dalam JITS jasa penerjemah tersumpah.
Memiliki maksud dan tujuan untuk sekedar berbagi ilmu pengetahuan, yang barangkali dapat menjadi referensi bagi para penerjemah dan pengelola jasa penerjemah atau lembaga apa aja yang memiliki konsen terhadap ilmu bahasa dan penerapannya.
Pendekatan linguistik yang abstrak dan sistematis bersifat atomistik (terpisah-pisah), sedangkan pedagogi yang berfokus pada situasi-penggunaan profesional bersifat holistik (menyeluruh). Pengajaran linguis tik dalam penerjemahan bidang hukum atau kedokteran misalnya, pertama-tama harus tersusun dulu, baru kemu dian terminologi dan ranah bahasanya diajarkan secara terpisah.
Bagi penerjemah proses analisis untuk terminologi berbeda dengan proses analisis untuk ranah bahasa (register). Karena itu, keduanya dianggap sebagai fenomena linguistik yang dari sifatnya saja sudah berbeda. Keduanya harus diajarkan secara berurutan, satu demi satu, bukan semuanya sekaligus.
Sebaliknya, fokus pada situasi-penggunaan profesional cenderung memandang terminologi dan ranah bahasa (register) khusus sebagai produk sampingan dari aktivitas-aktivitas penerjemahan tertentu yang biasanya sudah teratur, juga dari kebiasaan-kebiasaan penerjemah dan profesional yang muncul dari keterlibatan dalam aktivitas-aktivitas itu.
Dengan sendirinya, ada banyak sekali ragam perbedaan yang muncul, termasuk pada jenis yang dianalisis para ahli penerjemah. Namun, karena dihasilkan melalui dan dikendalikan lewat aktivitas-aktivitas profesional, fenomena linguistik ini di anggap sebagai hasil sampingan dari aktivitas-aktivitas tersebut.
Asumsinya, siapapun yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas tersebut (atau sesuatu yang semacam itu) dengan sendirinya akan mulai menggunakan terminologi dan ranah bahasa (register) yang tepat untuk aktivitas aktivitas tersebut sehingga tidak perlu ada perbedaan me todologis di antara keduanya.
Tergantung dari sudut pandang seseorang, perbedaan holistik/atomistik ini kembali dapat dilihat sebagai suatu keuntungan atau kerugian untuk tiap-tiap pendekatan. Secara keseluruhan, kedua pendekatan ini berfokus pada orang, situasi sosial, konteks kebiasaan, dan lain-lain yang sekali lagi membuat pengajaran menjadi lebih sulit, sebab pengalaman belajar secara holistik dan realistis di dalam kelas sulit diciptakan.
Sulit juga untuk mengetahui bagai mana jika ada penerjemah yang tidak tercakup dalam pengalaman itu. Untuk mengajar dengan cara seperti ini, penerjemah harus memiliki keyakinan tertentu bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik, bahwa mahasiswa yang ditempatkan pada beraneka ragam lingkungan belajar tentunya akan belajar lebih banyak hal dengan jauh lebih kompleks, lebih bermanfaat, dan lebih berkesan dibandingkan dengan lingkungan perkuliahan yang dikendalikan secara cermat.
Pengajaran secara holistik melalui pengalaman juga mempersulit penilaian, bahkan penilaian tidak mung kin dilakukan jika pendekatan holistik itu diselenggarakan cukup luas: bagaimana penerjemah bisa menilai seorang maha siswa berdasarkan satu pengalaman saja? Apakah pengalaman mereka benar-benar sudah mencukupi?
Kita tahu bahwa pengalaman merupakan guru yang jauh lebih ampuh daripada doctrine (yang dalam bahasa Latin berarti “teaching-ajaran”), tetapi pedagogi tradisional membuat kita sangat mencurigai upaya-upaya untuk membawa pembelajaran eksperiensial kedalam kelas, atau membiarkannya merubah secara radikal kegiatan penerjemah di dalam kelas (dalam memberikan nilai, misalnya).